Minggu, 28 Mei 2017

TUGAS SOFTSKILL 2. DAERAH PERBATASAN DNGAN NEGARA TETANGGA


PULAU PULAU INDONESIA YANG BERBATASAN DENGAN NEGARA TETANGGA


Indonesia merupakan negara kepulauan dengan garis pantai sekitar 81.900 kilometer dengan letak geografis 6°LU – 11°08’LS dan dari 95°’BT – 141°45’BT dan garis pantai sebesar 81.900 km. Indonesia memiliki wilayah perbatasan dengan banyak negara tetangga baik perbatasan darat maupun perbatasan laut. Batas darat (kontinen) wilayah Indonesia berbatasan langsung dengan Malaysia, Papua Nugini dan Timor Leste, sedangkan batas laut (maritim) negara Indonesia berbatasan langsung dengan India, Thailand, Malaysia, Singapura, Vietnam, Filipina, Republik Palau, Papua Nugini, Australia dan Timor Leste. Wilayah perbatasan laut pada umumnya berupa pulau-pulau terluar yang jumlahnya 92 pulau dan termasuk pulau-pulau kecil.
Batas wilayah negara Indonesia dengan negara yang bersangkutan baik itu batasan darat maupun batasan laut banyak mengalami kontroversi. Perbatasan yang terdapat didaratan suatu wilayah biasanya ditandai dengan titik atau patok yang sudah menjadi kesepakatan bersama antara pemerintah negara-negara yang memiliki batas satu daratan dengan bukti kesepakatan yang ditandatangani bersama dibawah naungan Dewan Keamanan PBB yang menangani tentang perbatasan suatu batas negara berdaulat. Selain ditandai dengan titik atau patok, perbatasan batas wilayah negara berdaulat bisa juga ditandai dengan bentangan memanjang bangunan berbentuk pagar batas yang tentunya berdasarkan kesepakatan bersama pula.
Sementara itu yang masih sangat sulit untuk ditandai dan dibuktikan dengan tanda yang akurat adalah soal tanda batas perbatasan wilayah yang memisahkan satu negara dengan negara lain yang berhubungan dengan perbatasan maritim. Disinilah yang sering kali terjadi konflik antar negara.

Batas-Batas Wilayah Indonesia dengan Negara Tetangga
Indonesia-Malaysia
Perbatasan laut antara Indonesia dengan Malaysia beberapa wilayah Selat Malaka, ada Ketidak jelasan batas maritim tersebut sering menimbulkan konflik di lapangan antara petugas lapangan dan nelayan Indonesia dengan pihak Malaysia. Karena sering tejadinya konflik, Indonesia-Malaysia membuat perjanjian penetapan garis batas laut wilayah di Kuala Lumpur pada tanggal 17 Maret 1970 yang di sahkan UU No. 2 Tahun 1971 (10-03-1971) yang berisi “Treaty between the Republic of Indonesia and Malaysia Relating the Delimitation of the Territorial Seas of the Two Countries in the Straits of Malaca(Perjanjian antara Republik Indonesia dan Malaysia Tentang Penetapan Garis Batas Laut Wilayah Kedua Negara di Selat Malaka)”. Sedangkan perbatasan Darat Indonesia dengan Malaysia untuk pelanggaran wilayah darat, diantaranya berupa pemindahan titik-titik batas wilayah di Kalimantan Barat.
Penetapan garis batas darat kedua negara di Selat Malaka dan laut Cina Selatan ditandatangai tanggal 27 oktober 1969 yang diratifikasi melalui Keppres No.89 tahun 1969 tanggal 5 November 1969/ LN No.54 dengan nama perjanjian Agreement between the Government of the Republic of Indonesia and the Government of Malaysia Relating to the Delimitation of the Continental Shelves between the Two Countries. (Persetujuan antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Malaysia Tentang Penetapan Garis Batas Landas Kontinen antara Kedua Negara).

Indonesia-Singapura
Perbatasan wilayah antara Indonesia dan Singapura terjadi pada perbatasan laut bagian batas laut wilayah Timur antara Batam dan Changi, serta Bintan dan South Ledge/Middle Rock/Pedra Branca. Permasalahan yang terjadi karena Singapura melakukan perbaikan pantai di wilayahnya. Sehingga terjadi perubahan garis pantai ke arah perairan Indonesia yang cukup besar. Bahkan Singapura telah menggabungkan beberapa pulaunya menjadi daratan yang luas. Untuk itu batas wilayah perairan Indonesia – Singapura yang belum ditetapkan harus segera diselesaikan, karena bisa mengakibatkan masalah di masa mendatang. Singapura akan mengklaim batas lautnya berdasarkan Garis Pangkal terbaru, dengan alasan Garis Pangkal lama sudah tidak dapat diidentifikasi.
Melalui perundingan yang menguras energi kedua negara, akhirnya menyepakati perjanjian batas laut kedua negara yang diratifikasi langsung oleh Menteri Luar Negeri Indonesia Marty M Natalegawa dengan Menteri Luar Negeri Singapura George Yeo, di Singapura hari Senin 30 Agustus 2010 yang merupakan kelanjutan dari perjanjian batas wilayah laut yang sebelumnya telah disetujui oleh kedua negara sebelumnya pada 25 Mei 1973 dalam UU RI No. 7 tahun 1973 tentang perjanjian antara RI dan laut wilayah kedua negara di Selat Singapura. Batas laut yang ditentukan adalah Pulau Nipa dan Pulau Tuas, sepanjang 12,1 kilometer. Perundingan ini telah berlangsung sejak tahun 2005, dan kedua tim telah berunding selama delapan kali. Dengan demikian permasalahan berbatasan laut Indonesia dan Singapura pada titik tersebut tidak lagi menjadi polemik yang bisa menimbulkan konflik, namun demikian masih ada beberapa titik perbatasan yang belum disepakati dan masih terbuka peluang terjadinya konflik kedua negara.

Indonesia-Papua Nugini
Indonesia dan Papua Nugini telah menyepakati batas-batas wilayah darat dan maritim. Meskipun demikian, ada beberapa kendala kultur yang dapat menyebabkan timbulnya salah pengertian. Persamaan budaya dan ikatan kekeluargaan antar penduduk yang terdapat di kedua sisi perbatasan, menyebabkan klaim terhadap hak-hak tradisional dapat berkembang menjadi masalah kompleks di kemudian hari.

Konflik yang sering terjadi
Pulau Sipadan dan Ligitan
Pulau Sipadan dan Ligitan terletak di Selat Malaka, dan diapit oleh Negara Indonesia dan Malaysia. Pulau Sipadan memiliki luas sekitar 50.000 m2, sementara Pulau Ligitan memiliki luas 18.000 m2.
Konflik perebutan mencuat pada tahun 1967 ketika diselenggarakannya sebuah pertemuan teknis hukum laut antar kedua Negara, dimana diketahui bahwa masing-masing Negara memasukkan kedua pulau ini ke dalam Peta Negaranya. Pada saat itu disepakatilah kalau kedua pulau ini berada dalam status quo.
Namun rupanya terjadi perbedaan presepsi antara kedua Negara tentang status quo ini. Pemerintah Indonesia saat itu berpikir status quo berarti kedua pulau tersebut tidak boleh ditempati atau diduduki, namun pemerintah Malaysia malah membangun resort dan penginapan lainnya di tempat tersebut. Dua tahun setelahnya pemerintah Malaysia secara sepihak memasukkan kedua pulau ini ke dalam negaranya.








x
x

Tidak ada komentar:

Posting Komentar